Berawal Dari STAN, Kini Tempuh S2 Energi Nuklir
Tak mudah meraih kesempatan belajar di Universitas terkemuka di dunia. Karena itulah, Miqdad Zuhdy Azra yang kini menempuh studi master dalam bidang energi di Skotlandia, berharap bisa menempuh kebutuhan tenaga audit kebijakan energi yang masih belum banyak digarap BPK>ADI FAIZIN - HADI, Jember
MENEMPUH studi di negara maju menjadi nikmat yang sangat disyukuri bagi Miqdad Zuhdy Azra. Auditor muda BPK ini sejak September lalu, resmi memulai kembali karier akademisnya, dengan menempuh studi master dalam bidang Hukum dan Kebijakan Energi Internasional di University of Strirling., Skotlandia, inggris Raya.
Di negeri Ratu Elizabeth itu,Miqdad mengkaji tentang perbandingan pengelolaan dan kebijakan energi di berbagai negara di dunia. "Aku belajar mengapa Inggris membangun Hinkley Point Nuclear Powerstation. Juga bagaimana Jerman sebagai negara industri maju merancang kebijakan energinya," tutur pria berkacamata tersebut.
Dirangsang Lebih Giat Melakukan Kajian Ilmiah
Dikampus yang berada di kota Striling itu, Miqdad mengaku merasakan suasana akademis yang sangat berbeda, dibanding dengan di Indonesia. "Di sini lebih banyak diskusi dari pada belajar satu arah," tutur alumnus SMAN 1 Jember ini.Perbedaan proses perkuliahan yang juga sangat keras adalah pada tugas perkuliahan. Dibandingkan saat masih kuliah di Indonesia, perkuliahan di Inggris Raya menurut Miqdad, banyak menekankan pada tugas penulisan karya ilmiah. "Setiap hari, selain diskusi, kami juga banyak membuat essay, jurnal kritik maupun prestasi individu maupun grup," cetus kelahiran Jember 28 September 1987 ini.
Dengan suasana akademis yang menantang menurut Miqdad, mahasiswa dirangsang untuk lebih giat melakukan kajian ilmiah lebih mendalam. Budaya akademis itu antara lain terwujud dengan setiap mahasiswa, meskipun argumentasinya dinilai kurang oleh dosen.
"Yang paling penting, dengan analytical thinkingnya, kami dipaksa untuk berpikir jauh ke dalam untuk menganalisis kebijakan," tutur alumnus diploma Sekolah Akuntansi Negara (STAN) ini.
Meski terhitung baru merasakan kuliah di University of stirling, sulung dari dua bersaudara ini mengaku banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru tentang kebijakan energi. "Saya jadi mulai memahami bagaimana negara-negara di Skandinavia sukses mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Juga bagaimana Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, giat mengembangkan EBT," disamping juga reaktor nuklir," kata pria yang menamtkan sarjana ekonominya dari Universitas Terbuka (UT) ini.
Sebagai seorang yang berlantar belakang pendidikan akuntansi, memang tidak mudah bagi Miqdad untuk beralih ke bidang kajian energi di tingkat master. Tapi ia makin termotivasi menjalani kuliahnya, setelah mendapati fakta tentang masih buruknya pengelolaan energi di Indonesia. "Yang paling nyesek itu, Indonesia sebagai negara besar, cuma dianggap sebagai objek energi, bukan subjek sebagaimana halnya negara-negara lain seperti India dan Tiongkok. Kita masih kalah jauh dan tidak diperhitungkan," tutur putra pasangan Dra Lilik Zuroidah (guru matematika SMAN 1 Jember) dan Drs Edy Suyono MSi ( Kepala SMK Tlogosari Bondowoso) ini.
Dari pengamatannya, dia menilai, Indonesia teramcam krisis energi jika tidak segera mengambil langkah yang tepat. "Cadanngan energi fosil kita, termasuk batu bara akan habis, mungkin sekitar 30 tahun lagi. Sedangkan Indonesia tidak punya energi nuklir seperti negara lain," cetus Miqdad dengan penuh semangat.
Di sisi lain, lanjut dia, pengembangan energi baru terbarukan Indonesia masih amat minim. "Pengambangan energi baru terbarukan Indonesia setiap tahunnya masih berada di kisaran 10 persen, jauh dibawah kesepakatan deklarasi Paris," ujar Miqdad.
Uasai merampungkan kuliah master, nantinya Miqdad akan kembali bekerja di BPK untuk mengembangkan audit kerbijakan energi. Saat ini, dari tiga ruang lingkup audit di BPK (audit keuangan, audit kenerja dan audit dengan tujuan tertentu), linkup terakhir iniyang masih belum masif.
"BPK kedepan juga mengaudit kebijakan, yang itu masuk ke lingkup audit dengan tujuan tertentu. Itulah mengapa saya kuliah di sini," tutur pria yang semasa SMA masuk program akselarasi dua tahun ini.
Sebagai seorang yang dibesarkan di kota santri seperti Jember, dia mengaku tidak mendapat kesulitan berarti dalam beradaptasi. Sebagai orang asing, dia juga mengaku tidak mendapat diskriminasi apa pun selama berada di Inggris Raya. "Disini pergaulannya asyik sih, enggak memandang identitas SARA kita. Jadi saya mudah berbaur," tutur suami dari Keke Viernia ini. Meski demikian, sebagai seorang muslim, dia juga membatasi diri dengan tidak menuruti ajakan temannya jika diajak ke bar atau pun diskotik.
Untuk sat istri, dia terpaksa berpisah dari istri dan kedua anak tercintanya. Rencananya, dia baru akan memboyong keluarga kecilnya itu pada maret tahun depan. "Di sini biaya hidupnya cukup malah sih," ucap ayah dari Elhalya Qotrunnada Azra dan Fayhana Nashimiya Azra ini. (mg2/c1/hdi).
Sumber : Jawa Pos Radar Jember 17 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar