Berdayakan Ibu Rumah Tangga Jadi Ahli jamu Tradisional
Katemi, 55, warga Desa Andongrejo Kecamatan Tempurejo ini tak lulusSD. Keahliannya hanya memasak dan merawat anak. Namun berkat industri jamu, bisa menyekolahkan anaknya hingga bangku kuliah. Bahkan dia jadi ketua komunitas pembuat jamu tradisional di desannya.KHAWAS AUSKARNI, Jember
BAU menyengat aroma jamu tercium saat memasuki ruangan berukuran 7x10 meter persegi itu. Di bangunan yang awalnya merupakan rumah kosong tersebut ada empat ruangan kecil. Masing-masing sekitar 4x4 meter persegi saja luasnya.
Suara deru mesin diesel menderu, menebul ke luar ruangan bersamaan dengan bau menyengat temu lawak, kunir, kencur, dan umbi-umbian lainnya. Sekitar 15 orang ibu-ibu rumah tangga, ternyata sedang ribet memproses jamu tradisional.
Mereka tampak berbagi tugas ada yang mengupas bahan bahan dasar, menggiling dengan mesin bertenaga disel, memeras hasil gilingan tersebut. Hingga menggoreng perasaan yang berupa ekstrak bahan pembuat jamu.
Rupanya, sudah sejak 1995 silam warga Desa Andongrejo.
Proporssi Bagi Hasil Disesuaikan Sumbangan dan Hasil Olahan
Kecamatan Tempurejo (Khususnya ibu-ibu) dikenakan dengan industri pembuatan jamu tradisional itu. Adalah LATEN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) yang mengenalkan pengolahan bahan alam tersebut menjadi jamu kepada warga sekitar.
Bermula pada tahun 1993, Kaswinto, seorang lulusan ITB yang lantas fokus pada kelestarian alam, datang ke Kabupaten Jember. Kala itu, dia melihat begitu rusaknya kawasan Htan Konservasi di Meru Betiri. Puncaknya sekitar tahun 2000 an, dimana pemerintah kala itu memberikan kelonggaran terhadap aktivitas perambahan hutan.
Akhirnya, sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab memafaatkan kesempatan tersebut untuk masuk ke kawasan hutan. Yang sedianya aharam untuk di jamaah oleh masyarakat umum, guna melakukan penebangan.
Akhirnya, sekitar 2.225 hektare sisi barat hutan konservasi Meru Vetiri mengalami gundul. LATEN lantas mengambil peran dengan mengajak warga sekitar untuk menanam apa yang kemudian disebut dengan TOGA (Tamanan Obat Keluarga) di kawasan Taman Nasional (TN) yang gundul tersebut. Yaitu, tanaman-tamanan yang buah atau hasiknya bisa menjadi bahan baku jamu tradisional.
Setiap warga mendapatkan hak guna atau hak kelola dari pihak TN untuk menggunakan lahan tersebut untuk bercocok tanam TOGA. Meskipun tak secara keseluruhan masyarakat sadar, namun sebagian besar masyarakat empat desa di Kecamatan Tempeurejo, mulai dari Sanen, Andongrejo, Wonoasri, dan Curahnongko banyak yang lantas terlibat dalam gerakan itu, Hasilnya, sejumlah warga yang sebelumnya beraktivitas di dalam hutan, bisa ditarik ke pinggir hutan.
Gerakan penanaman TOGA tersebut lantas memunculkan niat ekonomis yang sekaligus pemberdayaan terhadap masyarakat yang menjadi pelaku. Dan, pada tahun 1995 didatangkanlah tenaga ahli pembuatan jamu tradisional dari Malang.
Awal kali berjalan, hingga beberapa tahun setelahnya, setiap desa dari empat desa yang terlibat gerakan tersebut memiliki sentra home industri pembuatan jamu tradisional. Mereka pun menamai gerakan itu dengan TOGA Sumber Waras.
Bahan bakunya tentu saja di ambilkan dari lahan-lahan TOGA yang sudah mereka kelola sebelumnya. Secara bersama-sama mereka memproses bahan baku tersebut menjadi jamu siap seduh.
Proporsi bagi hasil yang mereka dapatkan disesuaikan dengan berapa banyak sumbangan bahan baku serta hasil olahan yang telah mereka kerjakan.
Hingga 2001, LATIN resmi bubar setelah kontrak proyek mereka dengan lembaga luar negeri yang mendanainya habis. Lantaran ada hasil nyata dan value added dari gerakan yang selama ini dimotori oleh LATEN tersebut, akhirnya sejumlah pengurus laten mengagas berdirinya KAIL (konservasi Alam Indonesia lestari).
KAIL lantas mengambil alih peran pemberdayaan industri jamu tradisional tersebut. Hingga saat ini, produksi jamu yang diberi tersebut dikenal hingga luar negeri, meskipun dalam pasar industri jamu hampir tidak mempunyai posisi. Permasalahannya adalah, jamu-jamu tersebut dikekola dengan cara yang sangat tradisional.
Menurut Taufik Ismail Majid 27, bendahara KAIL, industri jamu di pinggiran hutan Meru Betiri tersebut mendapatkan bantuan mesin dise sebagai menggerak alat giling. Sebelumnya, pelaku industri tersebut menghaluskan bahan dasar dengan cara diparut.
Selain itu, produk masih terkendala daya tahan. Lantaran tidak menggunakan bangan pengawet, sehingga dalam rentang tiga bulan saja jamu sudah rusak. Menurut Taufik, sejauh ini yang sudah berhasil diurus oleh pihaknya masih sebatas PIRT (Produk Industri Rumah Tangga). Lebih dari itu, seperti lisensi dan perizinan lainnya masih terkendala biaya.
Sementara Katemi, 55, ketua TOGA Sumber Waras untuk Desa Andongrejo menuturkan, dia merasakan betul manfaat dari gerakan TOGA tersebut. Sebagai ibu yang tidak lulus sekolah dasar tersebut, pada awalnya Katemi tidak memiliki keahlian apapun selain memasak dan merawat anak.
Dengan adanya pembinaan usaha industri jamu yang dulu pernah dia ikuti, saat ini dirinya bisa menyekolahkan anaknya hingga bangku kuliah. Sebenarnnya tidak banyak penghasilan yang didapatkan dari usaha jamu tersebut. Dari biaya produksi sebesar Rp 30 ribu, dia menjualnya pasaran harga Rp 60 ribu.
Harganya naik turun tergantung harga pula. Bahan bakunya kan selain tumbuhan alam juga gula," tutur Katemi.
Hal lain yang didapatkannya ialah, Katemi jadi bisa membuat racikan jamu sesuai dengan keluhan pasien yang datang. Beberapa pasiennya merupakan warga sekitar, malah ada juga yang datang dari luar kota. "Jamu yang saya buat ada untuk kolesterol, asam urat, darah tinggi dan lain sebagainya. Maenyesuaikan dengan keluhan pasien," ucapnya.
Katemi dengan percaya dirinya menunjukkan cara membuat jamu yang sudah belasan tahun ia jalani. Mulanya bahan baku dikupas, setelah itu dihancurkan dengan mesin menghalus. Dari halusan tersebut lantas diperas untuk didapatkan ekstraknya yang berbentuk cair.
Tibalah saatnya menggoreng cairan ektrak tersebut sekitar 1,5 jam. Pelan-pelan ujud cair bahan ekstrak tersebut akan mengeras seperti gulali. Dan, saat digoreng terus wujudnya akan mengkristal.
TOGA Sumber Waras Desa Andongerejo merupakan satu-satuan sentra industri jamu tradisional yang saat ini masih bertahan didaerah itu. Sementara itu, Kelompok industri jamu lainnya yang ada di Desa Sanen, Wonoasri, dan Curah Nongko sudah bubar lantaran tak mampu survei. (was/hdi).
Sumber : Jawa Pos Radar Jember 13 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar