Tanami Lahan Bekas Galian Pasir Sering Merugi Tiap Panen
ADI FAIZIN-HADI, Jember
LAHAN seluas sekitar 25 hektare di Desa Gunung Malang, Kecamatan Sumberjambe itu terhampar begitu luas dan lapang. Sebagian besar ditumbuhi beberapa komoditas seperti pisang, singkong,pepaya dan beberapa jenis palawija.
Namun di sana sini masih terlihat bekas lahan galian pasir yang tidak terurus dan membentuk cekungan dalam. Sehingga ibarat danau saat turun hujan deras.
Adalah Raung Legum, kelompok masyarakat dari dua kecamatan yang sejak tahun 2013 mendapat kepercayaan untuk mengelola lahan kritis tersebut. Diah Affandi ,sekertaris Raung Legum menuturkan, lahan tersebut sebenarnya tanah bengkok dari lima desa yang ada di Kecamatan Ledokombo. Menariknya, tanah bengkok itu justru berlokasi di Desa Gunung Malang yang masuk Kecamatan Sumber Jambe.
Imbas Kerusakan Lahan Rugikan Warga
"Selama belasan tahun tanah ini tidak terurus seperti tanah tidak bertuan" tutur pria asli Desa Ledokombo ini.
Tidak tergarapnya tanah bengkok dari lima desa tersebut karena jenis tanahnya yang tidak layak untuk digunakan sebagai cocok tanam. "Tanah di sini termasuk jenis tanah porous. Juga banyak(hama) gayasnya.jadi tidak layak tanam" jelas affandi.
Tanah porous merupakan jenis tanah dengan sedikit humus dan lebih banyak mengandung pasir. Sedangkan hama gayas atau lepidiota stigma merupakan jenis hama dari jenis serangan yang banyak menyerang akar tanaman yang biasa hidup di daerah kering.
Karena tidak terurus areal luas tersebut menjadi sasaran para penambang pasir liar yang datang dari berbagai desa.
Sebenarnya dari perangkat desa dan warga tidak memberikan izin. Namun karena begitu masifnya mereka menambang jadi sulit untuk di kintrol lanjut affandi.
Penambangan pasir memang mendapatkan keuntunganyang menggiurkan bagi pelakunya.Dulu (dari lokasi tersebut) dalam sehari bisa ratusan truk yang keluar masuk sini untuk angkut pasir " Kalau satu truk ongkos jalanya saja bisa Rp 100.000, tinggal kalikan saja omsetnya dalam sebulan " tutur pria lulusan STM Jember ini.
Beberapa warga sekitar juga banyak yang terlibat dalam penambangan pasir liar karena tergiur penghasilan yang besar. Namun besarnya pemasukan dari penggalian pasir tanah bengkok itu memang hanya menguntungkan pelaku usahanya saja.
Sebaliknya, warga sekitar justru dirugikan sebagian imbas dari kerusakan akibat penggalian pasir secara masif. Lubang besar menganga ditinggalkan begitu saja oleh penambang pasir tanpa ada upaya untuk memperbaikinya.
"Dulu ,pernah ada dua anak yang mati tenggelam di lubang bekas galian pasir. karena lubangnya membentuk semacam danau, saat musim hujan," kisah affandi.selain itu, lubang menganga besar yang di biarkan begitu saja, sewaktu waktu bisa menyebabkan tanah longsor.
Berangkat dari kegelisahan akibat rusaknya lingkungan sekitar puluhan warga desa yang berasal dari lima desa di Kecamatan Ledokombo, di tambah warga Desa Gunung Malang, Kecamatan Sumberjambe, sepakat membentuk kelompok Raung Legum.
"Raung karena di sini dekat dengan Gunung Raung. Legum adalaha kepanjangan dari Ledokombo dan Gunung Malang " cerita Affandi sambil menunjukkan Gunung Raung yang terlihat jelas dari lahan kritis tersebut.
Sejak tahun 2013, kelompok Raung Legum mendapatkan bantuan dana dari pemerintah melalui program Penanggulangan Lahan Kritis Sumber Daya Air - Berbasis Masyarakat ( PLK SDA BM). Bantuannya berbentuk barang, yakni berupa bibit,pupuk dan keperluan pertanian lainnya.
Sejak itulah sembari menanam anggota kelompok Ruang Legum juga berupaya untuk mencegah berlangsungnya penambangan pasir liar." Saya ajak teman-teman warga di sini untuk bersama sama menghentikan penambangan liar. Awalnya memang susah tapi lama-kelamaan berkurang,"tambah suryadi,55,salah satu anggota kelompok Ruang Legum.
Untuk memperbaiki struktur tanah yang sudah terklanjur rusak dan tidak subur, Raung Legum menggunakan pupuk organik yang berasal dari perternakan kambing yang berada di dekat lahan kritis tersebut. selain itu mereka juga mendirikan posko dan warung di tengah-tengah lahan untuk mempermudah pengawasan dan mengusir penambang liar.
Saat Radar Jember berkunjung ke posko tersebut, tampak tumpukan pupuk kandang yang di taruh di depan posko.
"anggota kami sebenarnya banyak, tapi yang aktif hanya mungkin sekitar 20 orang untuk berjaga di sini secara bergiliran. Karena mereka juga kerja di tempat lain" tutur affandi.
Sebuah warung sederhana juga didirikan di seberang posko, untuk membantu menjaga, kini dijaga oleh Bu Misyati. Sebagai kompensasi karena membantu menjaga lahan, Misyati mendapatkan imbalan untuk mengelola hasil panen palawija di lahan berupa pisang dan singkong untuk ia jual di warung tersebut.
"Alhamdulillah,penghasilan lumayan. Meskipun panen sering tidak sesuai harapan,"ujar Misyati yang sebelumnya berprofesional sebagai buruh tani. Ia mengakui saat, awal-awal membuka warung sempat mendapat perlawanan dari penambang pasir liar. Tetapi karena dibantu oleh anggota Ruang Legum, perlahan perlawanan dan teror dari penambang pasir kian berkurang.
Affandi menuturkan, selama beberapa kali mereka menanam lebih sering merugi karena struktur tanah yang sudah terlanjur buruk. Pihaknya,lanjut Affandi sebenarnya sudah berupaya membangun saluran air, untuk mempermudah irigasi penanaman.
"Dulu awalnya kita tanam 1.000 bibit pohon durian, bantuan dari pemerintah.tapi habis semua karena dimakan ulat gayas," tutur affandi.
Muhammad Holik, mantan tenaga kontrak kementrian Dalam Negeri yang di tunjuk sebagian fasilitator proyek PLK SDA BM mengakui, lahan kritis di Desa Gunung Malang tersebut cukup sulit untuk dikelola sebagai lahan pertanian.
"Dulu awalnya perjanjian ke lompok ( Raung Legum ) dengan beberapa kades pemilik tanah bengkok, dari hasil 70:30. 70 persen untuk kelompok, sisanya untuk kades"tutur Holik.
Namun karena beberapa kali penanaman tidak mendapatkan hasil, pola bagi untung itu tidak pernah terlaksana. pihak kepala desa pemilik lahan bengkok dan Kades Gunung Malang pun, menurut Holik sudah memaklumi kondisi tersebut.
Namun ada kegusaran lain di kalangan Raung Legum. " Saya dengar,akhir tahun ini, program ini di hentikan Kemendagri, imbas dari pemangkasan anggaran," tutur alumnus Fakultas Syariah IAIN Jember ini. Holik menyayangkan, jika upaya penanggulangan lahan kritis ini terhenti sebelum menuai hasil.
Dia mengakui, upaya penanggulangan lahan kritis tersebut cukup sulit. Namun jika dihentikan, ia khawatir jika seluruh upaya penanggulangan lahan kritis yang sudah di upayakan selama bertahun tahun akan menjadi sia sia "Kalau berhenti, nanti penembangan pasir liar yang sudah berhasil kita cegah, bisa hidup lagi" ujarnya.
Jika pun dianggap perbaikan lahan dengan pertanian sulit dikerjaan , dia ingin agar lahan rusak yang sudah sempat dihijaukan bisa dijadikan areal wisata.
Lubang lubang bekas galian yang menganga bisa di jadikan kolam wisata dengan melalui pembangunan bekerja sama dengan swasta. " Kalau dihentikan (pemerintah) pusat, mungkin Pemkab Jember bisa meneruskan dengan mengajak investor ke sini" harapnya. (mgl/c1/hdi)
Sumber: Jawa Pos.Radar Jember.kamis 1 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar