Misinya, Komitmen Tanggulangi Bencana secara Kultural
Potensi bencana banjir yang kerap menghantui sejumlah titik di wilayah Jember, mendorong sejumlah warga meleburkan dri ke dalam wadah yang mereka nami warga Jember Peduli Bencana (WJPB). Mereka memberikan edukas pada warga daerah rawan bencana, hingga penggalangan dan guna pencengahan dini. Di sini misi kemanusian lebih dikedepankam ketimbang bendera golongan.
KHAWAS AUSKARNI, Jember
ADA sekitar 37 wilayah Jember yang rentan terdampak bencana banjir. Memang, banyak wadah-wadah relawan yang setiap waktu siaga jika terjadi bencana. Namun, bendera golongan kerap melampaui upaya kemanusian yang mesti diemban. Karena itulah, beberapa tokoh mendirikan warga Jember Peduli Bencana (WJPB).
Mahmud Rizal, salah seorang penggasanya berita ilwal WPJB tercipta. Mulanya, pria yang menjabat sebagai Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapasiagaan BPBD Kenupaten Jember itu mengaku kerap menerima laporan dari BMKG tentang prediksi curah hujan.
Gerakan Awal Dimulai dari Desa Klungkung Sukorambi
Berulangkali lembaga peramal cuaca itu mengabarkan jika wilayah Jember pada Januari nanti akan diguyur hujan dengan curah hingga 500 milimeter. Padahal, khususnya Daerah Kencong, sebelumnya sempat mengalami luapan hingga sebuah tanggul jebol parah saat curah hujan 300 milimeter saja.
"Itu cuma satu kasus. Belum lagi ke-36 titik lainnya," kata Rizal. Tak ayal prediksi itu membuatnya gelisah.
Maka, bersama dengan dua orang rekannya yang sama-sama relawan bencana lantas mengagas apa yang dinamai dengan WJPB. Hal itu disampaikan dia pada Jawa Pos Radar Jember dalam diskusi tempat berkumpulnya relawan WJPB, Jum'at (30/12).
WJPB bukanlah lembaga, ditegaskan oleh Istono ASrijanto, penggagas yang lain. Bukan pula berkeanggotaan tertutup. Sifatnya terbuka bagi siapa saja yang berkeinginan memberi kontribusi. Aktivitasnya didanai dari pengalangan donasi yang dipampang melalui akun media sosial dan grup Whatssapp.
Kendati demikian, WJPB tidak menarik donasi itu sebelum dibutuhkan. "Hanya siapa saja yang bersedia berdonasi. Dananya tetap disimpan oleh yang bersangkutan. Di sini tidak ada bendahara soalnya," kata Istono.
Sejak awal terbentuknya dua bulam silam, WJPB telah berkomitmen menanggulangi bencana secara kultural. Artinya, masyarakata, khususnya warga yang tinggal di daerah rawan bencana, dikenakan sejak dini terkait penanganan bencana. Melalui simulasi serta kampaye penanggulangan bencana. Dan bencana yang dimaksud di sini tak malu banjir.
Dia mencontohkan, musibah tsunami Aceh pada 2004 silam. Kala itu, begitu banyak korban tewas akibat bencana dashyat yang juga berdampak pada sejumlah negara itu. Jutaan bangunan pun porak poranda.
Sementara itu, ditempat lain, Jepang, sebuah negara yang notabene jadi langganan gempa dan tsunami mapu meninimalisir jumlah korban tiap kali terjadi bencana.
Dia menyakini jika negara Asia Timur itu telah lama memiliki kultur penangukangan bencana. "Masyarakat Jepang sudah lama kenal dan menerapkan PRB. Misalnya mereka membangun rumah-rumah yang di dekat pantai dengan bentuk lancip menyerupai perahu," sambungnya.
Hal itulah yang lantas disebutnya dengan Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Cara ini dianggap lebih efektif dan efisien ketimbang mengatasi bencana saat sedang berlangsung.
Relawan WJPB berpandangan jika dana banyak apapun tak akan mampu menyelesaikan bencana. Terlebih komunitas macam WJPB yang begitu terbatas secara fenansial,
"Tak ada yang mampu menolah bencana. Biasanya cuma meminimalisir," kata salah seorang relawan lainnya.
Saat warga mulai terbangun kesadaran tanggap bencananya, disitu peningkatan kapasitas masyarakat terhadap bencana mulai tinggi. Impilkasinya adalah peningkatan PRB.
Gerakan awal WJPB itu dimulai di Dusun Kalijompo, Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi sejak hampir dua bulan silam. Dusun Kalijompo terletak di bantaran sungai Kalijompo dengan jumlah KK sebanyak 60. Satu darii 37 titik yang rawan bencana di Kabupaten Jember.
Gerakan Kalijompo merupakan simulasi awal. Ternyata tak gampang memasukan kesadaran tanggap bencana pada. Awal-awal warga sempat resistem dan sepi tanggapan. Kendati demikian, pendekatan melalui muspika, pimpinan PT Perhutani serta tokoh masyarakat setempat kian digencarkan.
Setelah hampir dua bulan dilakukan sosialisasi, simulasi,serta pemasangan pamflet tentang tanggap bencana, upaya tersebut akhirnya mulai berubah. Warga yang semula apatis kini mulai tanggap setelah paham dan beberapa kali melihat indikasi bahaya pada pemukiman mereka.
Hasil ini, dianggap oleh relawan WJPB cukup sukses. Ke depan, pendekatan-pendekatan yang selama ini digunakan pada warga Kalijompo akan dijadikan role model bagi kegiatan kampanye serupa di daerah-daerah lainnya.
WJPB mengharapkan agar semua instansi sejak mulai sekarang sudah mulai berpandangan pada PRB. Bentuknya bisa diawali sejak pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Sehingga, semua proses semenjak perencanaan, pembangunan, serta pengadaan barang dan jasa semuanya berwawasan PRB. Mengingat, bangunan yang menghabiskan milyaran rupiah bisa musnah dalam waktu hanya lima hingga sepuluh menit lantaran bencana. Sementara, dengan PRB hal tersebut bisa diminimalisir.(was/hdi)
Sumber : Jawa Pos Radar Jember 01 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar